Rabu, 05 Desember 2012

TAHAMMUL WA AL-ADA' (metode penerimaan hadits dan penyampaiannya)

TAHAMMUL WA Al-ADA’
(Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya)

A.    Pendahuluan
Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits.
 Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya  sampai masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap hadits menjadi shahih, hasan, dha’if dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu’ dan lain-lain.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadist yang akan kita bahas dalam makalah ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, penulis juga akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits

B.     Pengertian Tahammul wa al-Ada’
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.

C.    Syarat Penerima Hadits dan Penyampaiannya
1.      Kelayakan Tahammul
Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain,   Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.[5]
Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Nuruddin ‘Itr menyimpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.[6]
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka mem­berikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa me­ringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:[7]
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pende­ngarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mende­ngar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
Mengenai penerimaan hadits bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama menganggap sah, asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Rasulullah sebelum mereka masuk Islam. Salah satu sahabat yang mendengar sabda Rasululllah sebelum masuk Islam adalah Zubair. Dia pernah mendengar Rsulullah membaca surat Ath-Thur pada waktu sholat maghrib ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badr. Pada saat itu, dia dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia massuk Islam, bila penerimaan hadist oleh orang kafir yang disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah tentu penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertobat dianggap sah.[8]
2.          Kelayakan Ada’
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[9]
a.   Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات:6(
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
b.         Baligh
Ini merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
رفع القلم عن ثلاث عن المجنون حتى يفيق ,وعن النائم حتى يستيقظ ,وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)
Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
c.           Sifat Adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara­perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.
d.          Dhabt
Dhabtu adalah:[10]
تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت التحمل الي وقت اداء
“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”
Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sam­pai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwavat pada umum­nya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun bila banyak berbeda dan sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah. [11]

D.    Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya[12]
a.       As-Sima’, (السماع, mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpen­dapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada ke­benaran.
Menurut M.M.Azami metode as-sama’ ini ada beberapa bentuk:[13]
a.       Penyampaian hadist secara lisan oleh guru
b.      Pembacaan dari kitab
c.       Tanya-Jawab
d.      Dikte
Cara as-sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayat.[14] Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: سمعت ، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني. Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian  حدثنا ، حدثني. Alasannya adalah kata  menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata  حدثنا ، حدثني disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada سمعنا سمعت , karena kata  bias berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan sami’tu tadi. Seangkan kata أخبرني, حدثني  memberi petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan   أخبرني, حدثني tersebut.[15]
Kata Kana, Yakulu, Fa’la, Haddatsa, Zakara, Qala Fulan, atau yang serupa dengannya diperselisihkan dalam penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat cara-cara tersebut menunjukkan periwayatan secara as-sima’. Sebagian lagi berpendapat kata-kata tersebut menunjukkan cara as-sima’ bila di dalamnya tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis) oleh periwayat yang menggunakan kata-kata dimaksud, pendapat yang terakhir ini menyamakan cara tersebut dengan penggunaan kata ‘an.[16]
b.      Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh  (القرأة علي الشيخ, membaca di hadapan guru). Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnyaعرض القرأة  (menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak absah. ‘Ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad keduaMayoritas ulama memperbolehkan metode ini. Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan menerimanya. Sandaran ulama dalam memperbolehkan metode ini adalah hadits Dhammam ibn Tsa’labah, bahwa is berkata kepada Rasulullah SAW :
“Apakah Allah memerintahkan kepadamu untuk melakukan sholat lima waktu?” Beliau menjawab : “Benar.” Mereka mengatakan : Itu adalah bacaan di hadapan Nabi SAW. Dhammam membcakan khabar tentang hal itu kepada kaumnya, lalu mereka memperbolehkannya.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah عليه قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا اسمع [17]
c.       al-Ijazah  (الأجازة, sertifiksi atau rekomendasi)
Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت لك أن نروي عني (aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku). [18]
Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kri­teria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-­Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ibn ‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain. Semuanya memperbolehkan mengamalkan ijazah dan mmyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya. Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz’ atau kitab.
Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: “Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Inilah yang mereka sebut dengan Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu pula. Sebagian ulama menyebutkan dela­pan jenis ijazah. Bahkan ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis.

d.      Al-Munawalah (المناوله)
Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[19] M. ‘Ajaj al-Khatib memberikan defeni seorang guru memberikan beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayat­kannya darinya.[20] Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : Inilah haditsku, atau inilah riwayat-ri­wayat yang kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama memperbolehkan metode ini. sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama ahli hadits dalam menerima munawalah ini. Bahkan ada yang menjadikan “Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan as-Sima’. Namun yang benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di bawah tingkat as-Sima’ dan al-Qira’ah. Al-­Qadhiy ‘Iyadh dan al-’Iraqiy juga mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah ini. Tak seorang pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti halnya dalam ijazah.
Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. أنباء نا ، أ نبأني  Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah نا و لني ، ناولنا [21]
Hujjah yang digunakan ulama dalam memperbolehkan metode munawalah adalah hadits Rasulullah SAW bahwa beliau berkirim surat kepada panglima perang, seraya bersabda : Jangan kamu baca kecuali setelah sampai di tempat ini. Dan ketika sampai di tempat yang dimaksud, ia membacanya dan memberitahukan kepada orang-orang tentang apa yang diperintahkan Nabi.
e.    Al-Mukatabah (المكتبه)
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.[22] Lafadz yang digunakan adalah أجزت لك ما كتبته اليك  [23]
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال حدثنا فلان ، حدثني فلان كتابة ، أخبرني فلان كتابة ، كتب الي فلان  [24]
Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih mem­perbolehkannya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin dan muta’akhkhirin.
f.       I’lam asy-Syeikh (اعلم الشيخ)
Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meri­wayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa keju­juran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan meriwayat­kannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqad­dimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama muta’akhkhirin.
Menurut M. ‘Ajaj al-Khatib, ia tidak menemukan seorang pun yang menerima riwayat dengan cara ini pada masa-masa terdahulu selain Ibn Juraij dan yang menerima dengan cara itu harus menjelaskannya sewaktu menyampaikan. Misalnya mengatakan: Fi Ma A’lamani Syaikhi, atau ungkapan lain yang senada. [25]
g.          A I- Washiyyah (الوصيه)
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan  seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran me­tode tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya.[26]
Penyampaian riwayat yang diterima dengan cara wasiat menurut yang memperbolehkannya adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu menyampai­kannya. Misalnya perawi mengatakan: Telah mewasiatkan kepadaku Fulan, mengatakan telah memberikan khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat, atau saya menemukan dalam wasiat Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan kepadanya begini-begini. Ternyata kami tak menemukan seorang pun dari ulama mutaqaddimin yang meriwayatkan dengan cara wasiat.
h.      Al-Wijadah (الوجده, penemuan)
Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggu­nakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahi­fah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang ber­sangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayat­kan dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian peri­wayatan dengan metode wijadah ini pada masa klasik amat langka. Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab. Bahkan sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-­shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Ja­ngan kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if periwayatan dari kitab-kitab.[27] Lafadz yang digunakan وجدت بخط فلان    atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه

E.     Periwayatan Hadits: Antara bi al-Lafzh dan bi al-Ma’na
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadist, hadist Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadist atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[28] Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[29]
Sementara secara istilah ilmu hadist, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah: “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadist yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadist itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist”.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadist Nabi, yaitu: (1) orang yang melakukan periwayatan hadist yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-marwiy), (3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadist (at-tahamul wa ada al- Hadist).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa salah satu tugas perawi adalah menjelaskan bentuk tahammul yang digunakan untuk menerima apa yang diriwayatkannya. Kita juga mengenal semangat dari ulama hadits terhadap hal itu. Di samping bersemangat menjelaskan bentuk tahammul hadits sewaktu menyampaikannya, ulama juga bersemangat untuk menyampaikan hadits persis seperti yang mereka dengar tanpa penggantian dan perubahan sedikit pun. Sebagian ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul bersikap ketat. Mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz, dan tidak memperbolehkan peri­wayatan dengan makna sama sekali. Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia diperbolehkan meriwayatkan dengan makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat, ia bisa menghindari peruba­han makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandurg didalamnya. Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata yang bisa merubah makna maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikannya ri­wayat dengan lafadz seperti yang didengarnya.[30]
Seperti sudah disinggung dalam pendahuluan dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist.
1.          Periwayatan Hadist dengan Lafadz.
Periwayatan hadist dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Di antara ulama yang menekankan periwayatan hadist dengan lafaz dan menolak periwayatan hadist dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja’ ibn Hayuh.[31] Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadist kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya.[32] Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.[33]

2.          Periwayatan Hadist dengan Makna.
Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi.[34] Dan periwayatan hadist bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadist qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi saw.
Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadist bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu: Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadist yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya.[35] Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh hadist itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-kalim) dan Keempat, memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.[36]
Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadist-hadist Rasulullah baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah Nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa periwayatan hadist dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan ucapan Nabi.[37]
Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadist dan nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadist oleh perawi yang tidak mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan periwayatan hadist dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat.
Dari sini, jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah makna boleh meriwayatkan hadits secara makna, bila ia tidak ingat kata-kata persisnya. Karena ia telah menerima kata dan makna. Namun karena ia tidak mampu menyampaikan salah satunya, maka tidak ada halangan meriwayat­kannya secara makna selama ia aman dari keterpelesetan dan kekeliruan. Bahkan Imam al-Mawardiy mewajibkan seseorang menyampaikan dengan makna bila ia telah lupa akan lafadznya. Karena bila tidak, maka ia termasuk menyembunyikan hukum. Kemudian beliau berkata: Namun bila ia tidak lupa akan lafadznya, maka tidak boleh baginya menyampaikan selainnya. Karena kalam Nabi SAW mengandung fashahah yang tidak dimiliki oleh kalam lainnya. Yang memperbolehkan periwayatan dengan makna hanya memperbole­hkannya bagi orang yang benar-benar mengerti, di samping dengan syarat yang diriwayatkan bukan kata- kata yang merupakan bacaan ibadah atau ungkapan ­ungkapan Nabi SAW yang jami’ (padat makna). Sebenarnya kita juga telah menyaksikan hal itu pada praktek sahabat, tabi’in dan ahli hadits sesudah mereka. Mereka tidak beralih dari redaksi aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan mengenai keadaan, peperangan ataupun peristiwa tertentu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang sangat berhati-hati, dan seusai meriwayatkan mereka mengatakan : “au kama qala” (atau seperti yang disabdakan Nabi), “au nahwa hadza” (او نحو هذا) atau ungkapan sejenis, atau “au syibhahu” (او شبهه) (atau ungkapan yang serupa), seperti yang dipraktekkan oleh Abdullah ibn Masud, Abu ad-Darda’, Anas ibn Malik dan lain-lain. Karena itu, seusai meriwayatkan hadits harus me­ngatakan : “au kama qala” (او كما قال) atau yang sejenis, sebagai sikap hati-hati bila yang diriwayatkannya itu merupakan riwayat dengan makna.[38]

F.     Kesimpulan
Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.
Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah ‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

‘Ajaj, Muhammad al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
Ibn, Al Hafidz Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt Ismail, M.Syhudi, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
‘Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadits Terj, Mujiyo, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994
Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985
Shalih, Subhi, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh. (tt.tt.tt)
Soetari, Endang, Ilmu Hadist, Bandung: Amal Bakti Press, 1997
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006
Zainimal, Ulumul Hadist, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005