TAHAMMUL WA Al-ADA’
(Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya)
A. Pendahuluan
Penghimpunan
dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan
diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya
berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak
akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat
rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara
lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits.
Ulama
tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah
SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang
mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena
banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk
memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam
menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan,
penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang
disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai masing- masing
ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir
bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun
terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu
itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka
terhadap hadits menjadi shahih, hasan, dha’if dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu’ dan lain-lain.
Adapun
salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar
terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap
para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadist yang akan kita bahas dalam makalah ini.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk
periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan
masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist.
Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz
(teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya
saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, penulis juga akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits
B. Pengertian Tahammul wa al-Ada’
Tahammul
adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang
guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
C. Syarat Penerima Hadits dan Penyampaiannya
1. Kelayakan Tahammul
Mayoritas
ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak
kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka
tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka
menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan,
Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas,
Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa
memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah
baligh.[5]
Dalam
perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Nuruddin ‘Itr menyimpulkan
bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah
tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami
dan hafal terhadap apa yang didengarnya.[6]
Mereka
yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak
kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung
pada masalah tamyiz dari
anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak
kecil. Namun demikian mereka memberikan keterangan bersamaan dengan
pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk
menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam tiga
pendapat:[7]
Pertama,
bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh
pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadits
Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW
dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
Ketiga,
keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada
adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan
jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya,
meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami
pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya
mendengar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
Mengenai
penerimaan hadits bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama
menganggap sah, asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain
pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka
kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya
sahabat yang mendengar sabda Rasulullah sebelum mereka masuk Islam.
Salah satu sahabat yang mendengar sabda Rasululllah sebelum masuk Islam
adalah Zubair. Dia pernah mendengar Rsulullah membaca surat Ath-Thur
pada waktu sholat maghrib ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan
urusan perang Badr. Pada saat itu, dia dalam keadaan masih kafir.
Akhirnya dia massuk Islam, bila penerimaan hadist oleh orang kafir yang
disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah tentu
penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia
bertobat dianggap sah.[8]
2. Kelayakan Ada’
Mayoritas
ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang
riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[9]
a. Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik
diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat
tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti
membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat
perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah SWT juga
memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik,
melalui firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات:6(
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6)
Bila
terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap
berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
b. Baligh
Ini merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
رفع القلم عن ثلاث عن المجنون حتى يفيق ,وعن النائم حتى يستيقظ ,وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
Terangkat
pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang
tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)
Ulama
mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena
khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan
tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu,
tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh
merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang
membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk
melakukannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak
kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena
menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan
padanya terhadap segenap kaum muslimin.
c. Sifat Adil
Ia
merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya
untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita
akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke
dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan
sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkaraperkara mubah
yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air
kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan
dalam berkelakar.
d. Dhabt
Dhabtu adalah:[10]
تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت التحمل الي وقت اداء
“Teringat
kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia
dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”
Yaitu
keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya
ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai
menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup
hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal
bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari
adanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwavat pada umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak
masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun bila banyak berbeda dan
sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan haditsnya tidak bisa
digunakan sebagai hujjah. [11]
D. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya[12]
a. As-Sima’,
(السماع, mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari
hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis
itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode
ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa
mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih
tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits,
sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar
dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran.
Menurut M.M.Azami metode as-sama’ ini ada beberapa bentuk:[13]
a. Penyampaian hadist secara lisan oleh guru
b. Pembacaan dari kitab
c. Tanya-Jawab
d. Dikte
Cara as-sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayat.[14] Istilah
atau kata yang dipakai dalam metode ini: سمعت ، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ،
أخبرنا ، أخبرني. Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak
disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M),
kata yang tertinggi adalah kemudian حدثنا ، حدثني. Alasannya adalah
kata menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung hadits
yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata
حدثنا ، حدثني disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada
سمعنا سمعت , karena kata bias berarti guru hadist, tidak khusus
menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan sami’tu
tadi. Seangkan kata أخبرني, حدثني memberi petunjuk bahwa guru hadits
menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang
menyatakan أخبرني, حدثني tersebut.[15]
Kata Kana, Yakulu, Fa’la, Haddatsa, Zakara, Qala Fulan, atau
yang serupa dengannya diperselisihkan dalam penggunaannya oleh ulama.
Sebagian ulama berpendapat cara-cara tersebut menunjukkan periwayatan
secara as-sima’.
Sebagian lagi berpendapat kata-kata tersebut menunjukkan cara as-sima’
bila di dalamnya tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis) oleh
periwayat yang menggunakan kata-kata dimaksud, pendapat yang terakhir
ini menyamakan cara tersebut dengan penggunaan kata ‘an.[16]
b. Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh (القرأة علي الشيخ, membaca di hadapan guru). Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnya’عرض القرأة (menyodorkan
bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti
ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud
adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya
ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya
atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun
dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi
kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki
satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang
membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus
meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak,
maka tahammulnya tidak absah. ‘Ardh ini merupakan praktik yang paling
umum sejak awal abad keduaMayoritas ulama memperbolehkan metode ini.
Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan
menerimanya. Sandaran ulama dalam memperbolehkan metode ini adalah
hadits Dhammam ibn Tsa’labah, bahwa is berkata kepada Rasulullah SAW :
“Apakah
Allah memerintahkan kepadamu untuk melakukan sholat lima waktu?” Beliau
menjawab : “Benar.” Mereka mengatakan : Itu adalah bacaan di hadapan
Nabi SAW. Dhammam membcakan khabar tentang hal itu kepada kaumnya, lalu
mereka memperbolehkannya.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah عليه قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا اسمع [17]
c. al-Ijazah (الأجازة, sertifiksi atau rekomendasi)
Yaitu
seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist
atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang
murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan
gurunya, seperti: أجزت لك أن نروي عني (aku mengijazahkan kepadamu untuk
kamu riwayatkan dariku). [18]
Ulama mutaqaddimin tidak
memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteria dan syarat. Tetapi mereka
memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul
apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus
dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang
meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan,
sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau
ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin,
semisal al-Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ibn
‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain. Semuanya memperbolehkan
mengamalkan ijazah dan mmyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya.
Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz’ atau kitab.
Ijazah
memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa
kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: “Kitab
ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan
kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Inilah yang mereka sebut dengan
Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab
tertentu pula. Sebagian ulama menyebutkan delapan jenis ijazah. Bahkan
ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis.
d. Al-Munawalah (المناوله)
Maksudnya,
seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada
muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[19] M.
‘Ajaj al-Khatib memberikan defeni seorang guru memberikan beberapa
hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid
meriwayatkannya darinya.[20] Misalnya,
seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata :
Inilah haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa
mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk
meriwayatkannya dariku). Sebagian
ulama memperbolehkan metode ini. sementara sebagian yang lain tidak
memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama
ahli hadits dalam menerima munawalah ini. Bahkan ada yang menjadikan “Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan as-Sima’. Namun
yang benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di bawah
tingkat as-Sima’ dan al-Qira’ah. Al-Qadhiy ‘Iyadh dan al-’Iraqiy juga
mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah
ini. Tak seorang pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti
halnya dalam ijazah.
Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. أنباء نا ، أ نبأني Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah نا و لني ، ناولنا [21]
Hujjah
yang digunakan ulama dalam memperbolehkan metode munawalah adalah
hadits Rasulullah SAW bahwa beliau berkirim surat kepada panglima
perang, seraya bersabda : Jangan kamu baca kecuali setelah sampai di
tempat ini. Dan ketika sampai di tempat yang dimaksud, ia membacanya dan
memberitahukan kepada orang-orang tentang apa yang diperintahkan Nabi.
e. Al-Mukatabah (المكتبه)
Yaitu
seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain
menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada
dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu
mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya.
Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama,
disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk
sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan
munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.[22] Lafadz yang digunakan adalah أجزت لك ما كتبته اليك [23]
Kedua,
tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال حدثنا
فلان ، حدثني فلان كتابة ، أخبرني فلان كتابة ، كتب الي فلان [24]
Ada
sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat
yang shahih memperbolehkannya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh
mayoritas ulama mutaqaddimin dan muta’akhkhirin.
f. I’lam asy-Syeikh (اعلم الشيخ)
Maksudnya
seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu
atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan
telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain
yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid
untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu
saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka
menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian
pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan
darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang
guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya.
Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhaannya untuk
menerima dan meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh
mayoritas ulama mutaqaddimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama muta’akhkhirin.
Menurut
M. ‘Ajaj al-Khatib, ia tidak menemukan seorang pun yang menerima
riwayat dengan cara ini pada masa-masa terdahulu selain Ibn Juraij dan
yang menerima dengan cara itu harus menjelaskannya sewaktu menyampaikan.
Misalnya mengatakan: Fi Ma A’lamani Syaikhi, atau ungkapan lain yang senada. [25]
g. A I- Washiyyah (الوصيه)
Yaitu
seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal,
agar kitab riwayatnya diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan
darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang
amat langka. Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode
tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat
kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat
bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya
untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan
kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga
memberikan upah pengangkutannya.[26]
Penyampaian
riwayat yang diterima dengan cara wasiat menurut yang memperbolehkannya
adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu menyampaikannya. Misalnya
perawi mengatakan: Telah mewasiatkan kepadaku Fulan, mengatakan telah
memberikan khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat, atau saya menemukan
dalam wasiat Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan kepadanya
begini-begini. Ternyata kami tak menemukan seorang pun dari ulama mutaqaddimin yang meriwayatkan dengan cara wasiat.
h. Al-Wijadah (الوجده, penemuan)
Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa
ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah.
Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan
telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau
tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa
yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan
melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu
ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana
lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila
ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh
meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan
dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat dari sebagian ulama salaf,
bahwa mereka meriwayatkan dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun
demikian periwayatan dengan metode wijadah ini pada masa klasik amat
langka. Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara
langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab. Bahkan sebagian besar
ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-shahifah.
Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Jangan kalian
membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja
dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari
shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if
periwayatan dari kitab-kitab.[27] Lafadz yang digunakan وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
E. Periwayatan Hadits: Antara bi al-Lafzh dan bi al-Ma’na
Sebelum
terhimpun dalam kitab-kitab hadist, hadist Nabi terlebih dahulu telah
melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadist atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[28] Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[29]
Sementara secara istilah ilmu hadist, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah:
“Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadist
itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia
tidak menyampaiakan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat
disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya
orang tersebut menyampaiakan hadist yang diterimanya kepada orang lain,
tetapi ketika menyampaikan hadist itu tidak menyebutkan rangkaian para
periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai
orang yang telah melakukan periwayatan hadist”.
Dari
definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada
dalam periwayatan hadist Nabi, yaitu: (1) orang yang melakukan
periwayatan hadist yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-marwiy),
(3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang
disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5)
kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadist (at-tahamul wa ada al- Hadist).
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa salah satu tugas perawi adalah
menjelaskan bentuk tahammul yang digunakan untuk menerima apa yang
diriwayatkannya. Kita juga mengenal semangat dari ulama hadits terhadap
hal itu. Di samping bersemangat menjelaskan bentuk tahammul hadits
sewaktu menyampaikannya, ulama juga bersemangat untuk menyampaikan
hadits persis seperti yang mereka dengar tanpa penggantian dan perubahan
sedikit pun. Sebagian ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul bersikap
ketat. Mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz, dan tidak
memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali. Mayoritas ulama
cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh
meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa
Arab dengan segala seluk-beluknya dan mengerti makna-makna dan
kandungan hadits serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata
yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia diperbolehkan meriwayatkan
dengan makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat, ia bisa menghindari
perubahan makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandurg didalamnya.
Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata yang bisa
merubah makna maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan
makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikannya
riwayat dengan lafadz seperti yang didengarnya.[30]
Seperti
sudah disinggung dalam pendahuluan dalam studi periwayatan hadist,
persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini
karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap
keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu
hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW
ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama
hadist.
1. Periwayatan Hadist dengan Lafadz.
Periwayatan
hadist dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan
menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata,
penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Di
antara ulama yang menekankan periwayatan hadist dengan lafaz dan menolak
periwayatan hadist dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar
al-Razy dan Raja’ ibn Hayuh.[31] Mereka
tidak membolehkan meriwayatkan hadist kecuali dengan lafadz dari Nabi,
tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari gurunya
sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya.[32] Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.[33]
2. Periwayatan Hadist dengan Makna.
Sedangkan
periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang
disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan,
perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi.[34] Dan
periwayatan hadist bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah
hadist qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para
sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi
saw.
Adapaun yang membolehkan
Periwayatan Hadist bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu:
Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab
sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadist
yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan
secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya.[35] Kedua,
perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus
menyampaikan hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh hadist itu bukan
lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn
lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-kalim)
dan Keempat, memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan
padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari
maksud lafazh semula.[36]
Disamping
pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah
yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah,
berpendapat, bahwa; hadist-hadist Rasulullah baru diriwayatkan oleh
sebagian sahabat jauh setelah Nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa
periwayatan hadist dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya
disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang
asli sesuai dengan ucapan Nabi.[37]
Meskipun
demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz
hadist dan nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para
ulama juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadist oleh perawi
yang tidak mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang
tidak dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti
terhadap perbedaan-perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz
mutaridifat. Jadi mereka menginginkan periwayatan hadist dengan lafadz
asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan
persyaratan-persyaratan yang ketat.
Dari
sini, jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa
merubah makna boleh meriwayatkan hadits secara makna, bila ia tidak
ingat kata-kata persisnya. Karena ia telah menerima kata dan makna.
Namun karena ia tidak mampu menyampaikan salah satunya, maka tidak ada
halangan meriwayatkannya secara makna selama ia aman dari
keterpelesetan dan kekeliruan. Bahkan Imam al-Mawardiy mewajibkan
seseorang menyampaikan dengan makna bila ia telah lupa akan lafadznya.
Karena bila tidak, maka ia termasuk menyembunyikan hukum. Kemudian
beliau berkata: Namun bila ia tidak lupa akan lafadznya, maka tidak
boleh baginya menyampaikan selainnya. Karena kalam Nabi SAW mengandung fashahah yang
tidak dimiliki oleh kalam lainnya. Yang memperbolehkan periwayatan
dengan makna hanya memperbolehkannya bagi orang yang benar-benar
mengerti, di samping dengan syarat yang diriwayatkan bukan kata- kata
yang merupakan bacaan ibadah atau ungkapan ungkapan Nabi SAW yang jami’ (padat
makna). Sebenarnya kita juga telah menyaksikan hal itu pada praktek
sahabat, tabi’in dan ahli hadits sesudah mereka. Mereka tidak beralih
dari redaksi aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan mengenai
keadaan, peperangan ataupun peristiwa tertentu. Namun demikian, banyak
di antara mereka yang sangat berhati-hati, dan seusai meriwayatkan
mereka mengatakan : “au kama qala” (atau seperti yang disabdakan Nabi), “au nahwa hadza” (او نحو هذا) atau ungkapan sejenis, atau “au syibhahu”
(او شبهه) (atau ungkapan yang serupa), seperti yang dipraktekkan oleh
Abdullah ibn Masud, Abu ad-Darda’, Anas ibn Malik dan lain-lain. Karena
itu, seusai meriwayatkan hadits harus mengatakan : “au kama qala” (او كما قال) atau yang sejenis, sebagai sikap hati-hati bila yang diriwayatkannya itu merupakan riwayat dengan makna.[38]
F. Kesimpulan
Tahammul
adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru
dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah proses
menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
Mayoritas
ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak
kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka
tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda
pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya,
pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua
mengatakan tamyiz.
Syarat
kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan
metode dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu
as-sima’, al-Qira’ah ‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah,
I’lam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
‘Ajaj, Muhammad al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
Ibn, Al Hafidz Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt Ismail, M.Syhudi, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
‘Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadits Terj, Mujiyo, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994
Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985
Shalih, Subhi, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh. (tt.tt.tt)
Soetari, Endang, Ilmu Hadist, Bandung: Amal Bakti Press, 1997
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006
Zainimal, Ulumul Hadist, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005